Berkurban Itu Bentuk Manisfestasi Rasa Syukur |
|
|
|
Ditulis oleh Muhammad Nurdin |
Senin, 15 November 2010 09:26 |
Bulan ini merupakan bulan bersejarah
bagi umat Islam. Pasalnya, di bulan ini kaum muslimin dari berbagai
belahan dunia melaksanakan rukun Islam yang kelima. Ibadah haji adalah
ritual ibadah yang mengajarkan persamaan di antara sesama. Dengannya,
Islam tampak sebagai agama yang tidak mengenal status sosial. Kaya,
miskin, pejabat, rakyat, kulit hitam ataupun kulit putih semua memakai
pakaian yang sama. Bersama-sama melakukan aktivitas yang sama pula yakni
manasik haji yang dilanjutkan dengan Idul Adha atau hari berkurban.
Idul Adha dan peristiwa kurban yang setiap tahun dirayakan umat muslim
di dunia seharusnya tak lagi dimaknai sebatas proses ritual, tetapi juga
diletakkan dalam konteks peneguhan nilai-nilai kemanusiaan dan spirit
keadilan, sebagaimana pesan tekstual utama agama. Untuk lebih jauh lagi
memhbahas hal itu, berikut wawancara Muhammad Nurdin dari UIN Online
dengan Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan (FITK) Dr Muhbib Abdul Wahab di ruang kerjanya, Jumat (12/11).
Apa makna Idul Adha bagi umat Islam?
Idhul Adha artinya hari
raya kurban, dalam bahasa Arab itu ada tiga istilah yang digunakan
untuk menunjuk arti kurban. Ada istilah kurban itu sendiri, udlhiyah yang kemudian diambil untuk istilah Idhul Adha, dan an-Nahr, ketiga makna ini yang saling berdekatan. Pertama an-Nahr artinya menyembelih binatang. Kedua udlhiyah yang artinya binatang sembelihan, dan ketiga kurban yang artinya penyembelihan hewan kurban itu sendiri bertujuan semata-mata untuk mendekatkan diri pada Allah.
Menurut hemat saya, berkurban itu bukan
hanya semata-mata menyembelih atau mengalirkan darah tetapi bagaimana
dengan berkurban orang itu bisa lebih mendekatkan diri kepada Allah dan
sekaligus mendekatkan diri kepada sesama. Itu esensi yang paling utama.
Ada makna lain?
Makna lain dari berkurban adalah
berkurban merupakan manisfestasi dari rasa syukur seorang mukmin atas
pemberian rahmat dari Allah. Oleh karena itu, ketika Allah mewajibkan
untuk berkurban maka dengan segera lah kita laksanakan. Dalam al-Qur’an
surah al-Kautsar ayat 1-3 sudah dijelaskan tentang anjuran untuk
berkurban itu sendiri.
Nah, dalam hal ini saya cenderung berpendapat bahwa kurban itu hukumnya wajib “bagi yang mampu” karena dua alasan. Pertama,
perintah shalat dan perintah berkurban itu disandingkan “setara”,
jadi jangan disimpulkan shalatnya wajib lantas perintah berkurban itu
di tinggalkan atau disimpulkan sunah muakkadah. Hal ini sesuai dengan
pendapat Imam Hanafi bahwa berkurban itu wajib.
Kedua, dalam hadits Nabi yang artinya “
barang siapa yang mempunyai kelapangan rizki tetapi tidak berkurban
maka jaganlah sekali-kali orang itu mendekati masjid atau musholla
kami”. Hadits ini menunjukan adanya kewajiban untuk berkurban.
Selain itu, bahwa shalat sebagai ibadah ritual dan personal tidak bisa
dipisahkan dari ibadah kurban sebagai ibadah sosial. Saya ditegaskan
sekali lagi, selain merupakan rasa syukur berkurban merupakan wujud dari
manisfestasi ibadah personal ritual yang akan menjadi ibadah sosial.
Lantas, adakah keterkaitan antara berkurban dengan Ibadah Haji ?
Kaitannya sangat luar biasa. Karena
ibadah dalam Islam selalu ada figur teladannya. Dalam kontek ini adalah
Nabi Ibrahim AS. Idul Adha juga merupakan refleksi atas catatan sejarah
perjalanan kebajikan manusia masa lampau, untuk mengenang perjuangan
monoteistik dan humanistik yang ditorehkan Nabi Ibrahim. Idul Adha
bermakna keteladanan Ibrahim yang mampu mentransformasi pesan keagamaan
ke aksi nyata perjuangan kemanusiaan. Dalam konteks ini, mimpi Ibrahim
untuk menyembelih anaknya, Ismail, merupakan sebuah ujian Tuhan,
sekaligus perjuangan maha berat seorang Nabi yang diperintah oleh
Tuhannya melalui malaikat Jibril untuk mengurbankan anaknya. Peristiwa
itu harus dimaknai sebagai pesan simbolik agama, yang menunjukkan
ketakwaan, keikhlasan, dan kepasrahan seorang Ibrahim pada titah sang
pencipta.
Yang ingin saya tegaskan, bahwa
pemfiguran atau pemodelan dalam konteks pelaksanaan ibadah baik ibadah
ritual maupun sosial itu menjadi sumber energi atau motivasi bagi kita
seperti Nabi Ibrahim. Kisah tersebut merupakan potret puncak kepatuhan
seorang hamba kepada Tuhannya. Nabi Ibrahim mencintai Allah melebihi
segalanya, termasuk darah dagingnya sendiri. Kecintaan Nabi Ibrahim
terhadap putra kesayangannya tidak menghalangi ketaatan kepada Tuhan.
Model ketakwaan Nabi Ibrahim ini patut untuk kita teladani.
Kaitan antara Idhul Adha dengan ibadah
haji itu sangat erat sekali. Dalam surat al-Kautsar sudah ada penegasan
bahwa antara shalat dan berkurban itu setara, yang semuanya itu bermuara
semata-mata mengharapkan ridha Allah. Oleh karena itu, jika kita ingin
berkurban maka yang muncul adalah berbagai godaan atau bujuk rayu
syaitan. Hal ini sesuai dengan momentum pada tanggal 10 Dzulhijjah yang dilanjutkan dengan hari Tasyrik 11, 12, dan 13 Dzulhijjah dimana
para jamaah haji diwajibkan melempar jumrah atau belenggu hidup
”melemper syaitan “ sebagai lambang untuk membuang sifat egois, sombong,
sifat kebinatangan, riya dan takabur yang melekat pada diri manusia.
Oleh karena itu, menyembelih bukan semata mengalirkan darah akan tetapi
untuk menghilangkan tabiat buruk yang ada dalam diri kita.
Belum lama ini pemerintah telah
menetapkan bahwa Idhul Adha jatuh pada tanggal 17 Nopember 2010,
sementara di satu pihak ada yang menetapkan tanggal 16, lantas Bagaimana
cara mensikapi perbedaan tersebut?
Ikhtilaf al-Ulama Rahmatun artinya perbedaan dikalangan ulama itu rahmat. secara
pribadi lebih cenderung meyakini bahwa kebijakan pemerintah “moderat”.
Disatu sisi ada yang mengatakan bahwa kebijakan pemerinah itu cukup
moderat hal ini dapat dilihat dengan melibatkan ormas dan lain-lain.
Tapi saya melihat begini, ada sesuatu yang masih menjadi dasar
metedologis bahwa kalau bulan tidak bisa dilihat maka dasar penetapannya
bisa digenapkan. Lantas yang jadi pertanyaan saya adalah apakah yang
tidak bisa dilihat itu lantas tidak ada wujudnya pada waktu itu.
Kemudian begini, saya berusaha untuk
rasional saja bahwa kita ini kaum yang sudah bisa menghitung beda dengan
masa Nabi yang pada waktu itu intrumennya hanya ru’yah sebab pada waktu perintahnya hanya ru’yah saja. Secara pribadi saya cenderung, bahwa dasar penetapan itu okelah pake ru’yah
tetapi bila bertentangan dengan hisab saya kira dengan alasan atau
keilmuan bahwa hisab itu lebih akurat menurut saya yang rasional itu
yang didahulukan sebab bukan pada wilayah ta’abudi akan tetapi sudah masuk pada taakuli. Nah disinilah penting nya ilmu pengetahuan berperan menentukan awal dan akhir bulan.
Dalam konteks ini saya tidak ingin
mengatakan adanya dikotomi antara Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU)
atau yang lainnya. Tapi setidaknya pemerintah bisa berfikir jernih, dan
bijak. Jangan karena pemerintah “penguasa” di Kementrian Agama lantas
cenderung ke pihak mayoritas yang ada di departemen agama saja, tanpa
menengok kalangan minoritas. Terutama dalam konteks iklim di indonesia
yang sulit diprediksi sering ada gangguan awan, dan seterusnya. Maka
menurut hemat saya kedepan terutama dalam penentuan awal dan akhir
ramadhan maupun haji harus ada kesepakatan awal terutama pada penetapan
kriteria penetapan wujud hilal.
Menurut Anda, adakah bentuk kepekaan sosial di hari Kurban?
Ada, sebab kepekaan sosial bisa dibangun
kapanpun dan dimana pun. Di awal saya sudah katakan bahwa ibadah
personal maupun ibadah ritual itu harus membuahkan ibadah sosial yang
diwujudkan dalam bentuk kepekaan, solidaritas, kesetiakawanan. Semua
aktifitas ibadah dalam Islam itu bermuara pada kepekaan sosial. Misalnya
shalat yang diakhiri dengan salam ”saling bersalaman”, puasa yang
diakhiri dengan zakat fitrah, termasuk ibadah haji dirayakan dengan
Idhul Adha dan ditindak lanjuti dengan berkurban.
Bentuk solidaritas kemanusiaan ini
termanifestasikan secara jelas dalam pembagian daging kurban. Perintah
berkurban bagi yang mampu ini menunjukkan bahwa kita harus senantiasa
respek dan peduli terhadap fakir-miskin dan kaum dhu’afa lainnya. Di
syari’atkannya kurban, kita dilatih untuk mempertebal rasa kemanusiaan,
mengasah kepekaan terhadap masalah-masalah sosial, mengajarkan sikap
saling menyayangi terhadap sesama.
Yang ingin saya tekankan adalah bahwa
berkurban bukan semata-mata menyembelih hewan tetapi dengan kurban itu
kita bisa memperdayakan orang-orang miskin. bagaimana hewan-hewan
kurban sebelum di kurbankan itu sudah ada yang menangani dari mulai
pengadaan hewan, peternakan, pencarian rumput sampai pendistribusian.
Dari hewan kurban inilah bagaimana orang-orang miskin dapat
diuntungkan, bahkan para fakir miskin akan naik status dari penerima
hewan kurban naik statusnya menjadi muzakki atau mudhohi karena
ekonominya sudah diberdayakan, atau dia sudah ikut sertakan dalam proses
penyembelihan saja, akan tetapi dalam pengadaan hewan tersebut. Jadi,
ibadah kurban ini mempunyai peluang yang cukup besar, untuk
memberdayakan orang-orang miskin. Sejauh ini baru segelintir orang
maupun lembaga yang baru memberdayakan fakir miskin untuk mengelola
hewan kurban. Memang awalnya sulit dan sedikit yang kita terima, tapi
akhirnya kita merasa puasa karena bisa membantu fakir miskin dengan
meminjamkan modal untuk usaha ternak kurban.
|
Komentar
Posting Komentar